LAMPUNG SELATAN–Sabtu siang (1/2/2021) sekitar pukul 13.30 WIB, cuaca di Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan terlihat begitu cerah. Ketika sampai di salah satu kampung yakni Dusun Ponorogo Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, lampungterkini.id melihat pasangan suami istri yang sudah diusia senja bersama seorang anak perempuannya sedang menganyam bilah bambu di teras depan rumahnya.
Pasangan suami istri usia senja itu diketahui bernama Mbah Dangun (67) dan Maniyem (56). Sementara anak perempuannya bernama Yulianti (26). Ketika didatangi untuk melihat lebih dekat, mereka sedang menganyam bilah bambu untuk dijadikan wadah perabot rumah tangga berupa tompo ukuran kecil dan sedang yang biasanya digunakan untuk mencuci beras atau menyimpan bumbu dapur atau juga untuk menaruh buah serta jajanan tradisional.
Tidak hanya itu saja, kerajinan anyaman dari bambu seperti tompo ini juga, biasanya dimanfaatkan oleh ummat beragama Hindu sebagai pelengkap dari upacara adat yang seringkali dilaksanakan.
Kemudian ayaman bambu lainnya yang dibuat yakni berupa besek, penampi beras (tampah) penutup kepala (caping), Bakul (Rinjing) serta lainnya. Kerajinan bilah bambu yang dibuatnya, kuat dan tahan lama.
Meski usianya tak lagi muda, melalui tangan keriput kedua si Mbah ini begitu cekatan menganyam bilah bambu jenis apus yang akan dijadikan tompo dan Bakul (Rinjing) yang sudah dipesan konsumen ataupun tengkulak. Dengan cepat, tumpukan bilah bambu yang ada didepannya itu selesai dianyam. Bahkan anak perempuannya, terlihat begitu lincah menganyam bilah bambu.
Pohon bambu yang selama ini identik dengan bahan baku pembuatan rumah ataupun bangunan, tapi ditangan kreatif mereka, bambu ‘disulap’ menjadi kerajinan bernilai jual ekonomis dan berdampak baik bagi lingkungan untuk mengurangi sampah plastik.
Meski ditengah gempuran perabot rumah tangga berbahan berbahan plastik, stainless ataupun lainnya banyak dipasaran. Keluarga Mbah Maniyem, masih tetap bertahan menggeluti usaha sebagai perajin perabot rumah tangga dari ayaman bilah bambu.
Proses membuat kerajinan wadah anyaman dari bilah bambu ini, sebenarnya cukup panjang. Mulai dari memilah bambu apus yang pantas untuk ditebang, memotong, membelah hingga menjadi iratan (irisan) tipis, lalu dijemur dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering dengan lekukan yang diinginkan setelah itu baru bambu bisa dianyam.
“Potongan bilah bambu yang sudah diirat (ditipiskan) ini, mau dianyam dibuat wadah perabot rumah tangga namanya pithi atau tompo,”kata Mbah Maniyem kepada lampungterkini.id sembari menganyam bilah bambu dibuat tompo, Sabtu (1/2/2021).
Meski diajak bincang oleh jurnalis lampungterkini.id, Simbah yang usianya sudah 56 tahun ini tanpa harus melihat lipatan-lipatan anyaman bambu yang ia kerjakan, masih tetap bisa membuat wadah tompo dengan cepat dan hanya butuh waktu 10 menit menyelesaikan satu tompo. Wadah tompo ini, sebutnya, biasanya digunakan untuk mesusi (mencuci) beras.
“Tapi wadah tompo ini, bisa juga untuk wadah lainnya seperti menyimpan bumbu-bumbu dapur dan menaruh buah serta jajanan tradisional seperti tape singkong atau lainnya,”kata dia.
Menurutnya, semua bahan mulai dari mencari, memotong, membelah dan meyirat (menipisi) bambu sampai siap dianyam yang mengerjakannya adalah suaminya. Sementara ia tinggal menganyamnya saja. Dalam sehari, ia dapat menyelesaikan 50 kerajinan anyaman bambu berupa tompo.
“Mulai menganyam bilah bambu ini, setelah pekerjaan rumah selesai ya sembari mengisi waktu luang siang,”ucapnya.
Disampingnya, anak perempuannya juga sedang membantu menganyam bilah bambu. Bahkan, terlihat lincah menganyam bilah bambu dijadikan tompo.
Mbah Maniyem menceritakan, memiliki keahlian membuat kerajinan menganyam bambu dijadikan alat perabot rumah tangga, diperoleh dari orangtuanya di Jawa Timur yang memang sebagai perajin bambu. kerajinan ini, sebelum menikah hingga menikah dengan suaminya yang juga sebagai pelaku kerajinan anyaman bilah bambu.
Berbekal keterampilan yang dimilikinya itu, ia mengikuti suaminya meninggalkan Pulau Jawa merantau ke Pulau Sumatera yakni di Dusun Ponorogo, Desa Sidorejo, Lampung Selatan hingga memiliki beberapa orang anak serta cucu tetap setia menekuni kerajinan menganyam bilah bambu.
“Pekerjaan menganyam bambu ini, saya tekuni selama 46 tahun hingga sekarang ini atau sejak tahun 1974 lalu saat saya belum menikah sampai menikah hingga punya anak dan cucu. Kerajinan ini warisan turun temurun dari orangtua saya, dan alhamdulilah walau hasilnya sedikit bisa untuk kebutuhan sehari-hari, membesarkan anak, menyekolahkan sampai menikahkannya,”ungkapnya.
Dikatakannya, selain membuat tompo (Pithi), ia dan suaminya juga membuat ayaman bilah bambu lainnya seperti Besek, penampi beras atau bahasanya jawanya disebut “Tampah”, lalu penutup kepala “Caping” serta Bakul “Rinjing”.
“Tapi yang menganyam tampah sama rinjing itu suami, kalau saya hanya menganyam tompo sama besek saja,”ujarnya.
Selain karena biasa dan terampil, Mbah Maniyem mengaku kerajinan dari bambu ini merupakan tradisi budaya sejak dari nenek moyang kita dulu dan tidak ingin hilang begitu saja apalagi terputus ke generasi selanjutnya.
Sementara Mbah Dangun menuturkan, satu batang bambu kalau dibuat wadah seperti tompo ini, bisa dapat 20 tompo. Sementara modal yang dibutuhkan, untuk satu batang bambu dibeli seharga Rp 5.000 dan tali Rp 4.000.
“Kalau untuk proses pembuatannya, mulai dari awal bahan sampai jadi tompo, tampah dan caping memakan waktu 2-3 hari. Sedangkan untuk bakul (rinjing) ini, memakan waktu hingga 5 hari,”ucapnya.
Hasil kerajinan yang dibuatnya, kata Mbah Dangun, dijualnya sendiri ke Pasar Sidomulyo. Selain itu juga, ada yang dibeli langsung dengan pengepul atau agen dari daerah Kecamatan Way Panji, Palas, Kalianda dan wilayah lainnya.
“Biasanya yang dibeli sama pengepul tidak hanya tompo saja, tapi lainnya seperti tampah, caping dan rinjing jumlahnya masing- masing sekitar 10-15 jenis yang dibawa. Untuk kerajinan tompo dijualnya Rp 5.000/bijinya, bakul (rinjing) Rp 20 ribu dan penampi beras (tampah) Rp 10 ribu,”ungkapnya.
Kesulitannya saat membuat kerajinan anyaman bambu ini, yakni pada saat musim hujan karena bambu agak sulit didapat dan juga membuat dirinya harus memanggang serat bilah bambu diatas tungku api supaya cepat kering dan bisa dianyam.
Menurutnya, di wilayah tempat tinggalnya di Dusun Ponorogo, Desa Sidorejo ini, dulunya banyak yang membuat kerajinan anyaman dari bilah bambu. Kerajinan yang dibuat banyak macamnya, tidak hanya tompo, besek, tampah dan rinjing saja melainkan caping, kandang burng, kurungan ayam, bilik (geribik), tempat untuk jemur padi serta masih banyak jenis anyaman bambu lainnya lagi.
Karena seiring perkembangan zaman, lanjut Mbah Dangun, serta banyaknya masyarakat menggunakan bahan perabot rumah tangga dari plastik, sehingga kerajinan perabot rumah tangga dari anyaman bilah bambu mulai sepi dan ditinggalkan peminatnya dan akhirnya banyak perajin beralih profesi pekerjaan lain.
“Kalau dulu, rata-rata warga di Dusun Ponorogo ini, manyoritas menekuni kerajinan ayaman bambu. Tapi sekarang ini, hanya tinggal keluarga saya saja yang masih tetap bertahan menekuni kerajinan dari bambu ini,”sebutnya.
Dikatakannya, sangat tidak mudah memang untuk terus menjaga dan melestarikan kerajinan warisan budaya kita ini, apalagi sekarang ini banyak orang yang menggunakan perabot rumah tangga berbahan plastik.
“Yang dibutuhkan seperti kami ini, ya diperhatikan (pemerintah). Ya syukur-syukur kalau ada bantuan untuk pengrajin kecil seperti kami agar bisa tetap terus bertahan dan melestarikan warisan budaya ini,”pungkasnya.
Sementara Yulianti (26) menuturkan, menekuni kerajinan dari ayaman bambu baru sekitar 4 tahun atau sejak dirinya menikah, dari menekuni usaha ini bisa membantu menopang penghasilan suaminya untuk kebutuhan ekonomi rumah tangganya.
“Saya bersyukur sekali bisa mengayam bambu setelah diajari sama kedua orangtua saya, alhamdulilah bisa untuk menambah penghasilan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah anak,”ujarnya.
Dikatakannya, untuk pemasaran kerajinan dari bambu sekarang ini, memang mengalami kesulitan. Kalau dulu banyak peminatnya, tapi sekarang ini sudah berkurang karena banyak uang pindah ke bahan plastik semua yang katanya bahan plastik lebih praktis.
Bukan mengapa, kata Yuli, harusnya supaya lebih menghargai lingkungan. Karena menggunakan wadah dari anyaman bambu, justru lebih ramah lingkungan jika dibadingkan dengan bahan plastik.
“Harapannya, pemerintah memperhatikan pengrajin-pengrajin kecil seperti kami. Katanya yang saya dengar, bahan yang menggunakan plastik akan di kurangi sama pemerintah. Ya mudah-mudahan saja, bahan kerajinan dari bambu ini bisa laku dan diminiti banyak orang seperti dulu lagi,”pungkasnya. (Ndi/Red)