34 Tahun Peristiwa Talangsari, Korban Minta Pemerintah Bawa Kasusnya ke Pengadilan Yudisial

by -754 Views
Diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari yang digelar KontraS di Bandarlampung, Rabu (8/2/2023).

BANDARLAMPUNG—Penyelesaian non-yudisial yang digaungkan pemerintah kasus pelanggaran HAM Berat, dianggap mengesampingkan tanggung jawab hukum oleh negara terhadap korban sehingga tidak membuat para korban puas.

Korban peristiwa 34 tahun Talangsari, meminta negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu dibawa ke pengadilan. Kesimpulan itu, disampaikan dalam diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari yang digelar KontraS di Bandarlampung, Rabu (8/2/2023).

Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad yang akrab disapa Ujang mengatakan, janji Presiden yang katanya akan menyelesaikan kasus HAM berat dengan penyelesaian non-yudisial, sangatlah tidak adil bagi kami keluarga korban Talangsari.

“Pernyatan Presiden, belum apa-apa dibandingkan dengan penderitaan dialami para korban yang mana imbasnya selama bertahun-tahun,”kata Edi dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).

Menurutnya, presiden Joko Widodo yang mengeluarkan pernyataan sekaligus penyelesaian terkait pelanggaran HAM berat masa lalu Talangsari hanyalah sebuah kemenangan kecil.

“Itu kemenangan kecil dan tidak bisa kami rayakan, karena ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan penderitaan dan perjuangan yang kami lakukan selama berpuluh-puluh tahun lamanya,”sebutnya.

Janji pemerintah memberi rehabilitasi berupa uang, fasilitas untuk korban dan penyesalan, kata Edi yang juga sebagai penyintas atas peristiwa Talangsari, tentunya tidak sebanding dengan stigma yang diterima para keluarga korban lainnya atau yang dirasakan selama ini, dan semuanya itu tidak bisa dinilai hanya dengan materi.

“Diganti uang, saya rasa tidak harganya dan nilainya karena tak sebanding dengan stigma yang kami (korban) terima. Kami distigma sebagai gerakan pengacau, dianggap PKI, teroris dan lainnya itu sangat menyakitkan,”ujarnya.

Dikatakannya, kerugian non materil tersebut, jauh lebih menyakitkan dibanding betapa ringannya pemerintah menyatakan penyesalan atas peristiwa itu.

“Saat peristiwa itu terjadi, saya masih usia belasan tahun dan menjadi tahanan politik pasca peristiwa itu. Tidak bisa sekolah dan ditolak sana-sini, sekarang mau diganti dengan uang,”ungkapnya.

Ia berharap, pemerintah harus membuktikan secara nyata dalam menyelesaikan atau memberikan pemulihan kepada korban secara transparan dan bermartabat. Karena sampai saat ini pun, diskriminasi itu masih ada.

“Presiden sudah ngomong, menyesalkan dan berjanji tidak mengulangi dimasa mendatang. Tapi apakah pejabat-pejabat yang ada dibawahnya mengikuti intruksi Presiden,”jelasnya.

Kemudian, pernyataan Presiden Joko Widodo itu, bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melanjutkan penyidikan yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM pada tahun 2008 lalu.

”Pengadilan HAM yang kita nantikan, agar ada ketok palu siapa pelakunya dan korbannya supaya jelas. Jadi stigma itu hilang sama kami (korban) kedepan di pengadilan,”pungkasnya.

Sementara anggota divisi pemantauan impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia mengatakan, penyelesaian non-yudisial itu, menunjukkan bahwa negara tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Sebenarnya dan lebih utama, penyelesaiannya lewat jalur yudisial dalam pengadilan HAM,”kata Jane.

Meski Presiden Joko Widodo sudah mengakui dan menyesali peristiwa Talangsari sebagai pelanggaran HAM berat, hal itu tidak ada artinya jika tidak diberangi dengan akuntabilitas dan pertangungjawaban atas kasus tersebut.

“Padahal, berkas penyelidikan Komnas HAM terkait dengan peristiwa pelanggaran Talangsari ini sudah rampung sejak tahun 2008 silam,”kata dia.

KontraS menyebutkan, jika Presiden Jokowi sungguh-sungguh dengan pidato pengakuannya, tentunya harus dibuktikan dengan aksi nyata negara untuk memberikan hak-hak korban dengan bermartabat.

Diketahui, Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Instana Negara, Rabu (11/1/2023). Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dimasa lalu dan salah satunya adalah peristiwa Talangsari Lampung Timur. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.