Pencak Silat “Sumber 7 Helang Bukekhang SA”

by -1181 Views
Seni budaya bela diri pencak silat khas adat Lampung “Sumber 7 Helang Bukekhang SA”

LAMPUNG SELATAN, KALIANDA – Agus Eka Satria (46), seorang guru PNS di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Kalianda dan selaku pimpinan ataupun pembina pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA” mengatakan, ia mepelajari seni budaya bela diri pencak silat khas adat lampung ini, belajar dari ayahnya Ibnu Hasyim dan dua orang teman ayahnya bernama Ibrahim, Ismail mantan Kades Kekiling dan Tumenggung Husin. Mereka belajarnya dari seorang gurunya bernama Harun ayah dari Ibrahim di daerah Palembapang.

Agus Eka Satria pimpinan-pembina pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA”

“Mulai belajar pencak silat, saat saya duduk dibangku sekolah kelas 3 SD Tahun 1982 dan pada saat itu ayah saya sebagai Kepala sekolah SDN 2 Palembapang. Selama 15 tahun saya tinggal dan belajar mendalami pencak silat di Palembapang,”ujarnya.

Dikatakannya, dulunya, pencak silat ini bernama pencak silat Lampung Harimau. Karena dibuka secara resmi, namanya diubah menjadi seni bela diri pencak silat “Jurus  7 Helang Bukekhang” yang diprakasai oleh ayahnya bersama kedua temannya, Ismail mantan Kades Kekiling dan Ibrahim anak dari Harun yang menjadi guru ketiganya tersebut.

“Makna atau arti dari Helang Bukekhang ini, Helang adalah burung Elang kalau bahasa lampungnya disebut Bahuta. Sementara untuk Bukekhang, memiliki arti Berjemur. Jadi Helang Bukekhang adalah Elang Berjemur,”kata bapak tiga orang anak ini.

Ketika ada atraksi, kata Agus sapaan akrabnya, karena ada dua kecamatan yang melestarikan seni budaya bela diri pencak silat tersebut yakni Kecamatan Penengahan dan Palembapang, mereka mufakat bahwa pencak silat “Jurus  7 Helang Bukekhang” diatasnamakan Kecamatan Penengahan yang diketuai Ismail, mantan Kades Kekiling.

“Untuk jadi kesatuan, pencak silat “Jurus  7 Helang Bukekhang” ini memiliki satu perguruan seni bela diri pencak silat dengan nama yang sama yang diketuai oleh Ibrahim dan ayah saya. Pada masa itu, latihannya ada tiga tempat yakni Desa Palembapang, Kekiling dan Pematang,”ucapnya.

Kemudian tahun 1993, lanjut Agus, kedua orangtuanya pindah ke Desa Pematang, Kalianda. Namun ia masih terus mendalami seni bela diri pencak silat tersebut, bahkan ia juga diminta untuk membina generasi penerus di Desa Pematang dan Palembapang. Sedangkan di Desa Kekiling, tidak melanjutkan seni bela diri pencak silat tersebut hingga saat ini.

“Pencak silat ini ada dua versi, ahli waris dari bapak Harun diwariskan ke anaknya bernama Ibrahim dengan nama pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang” menggunakan 9 jurus dan 9 kuntau (gerakan seni). Sementara ayah saya membuka juga dengan nama yang sama di Desa Pematang, tapi versinya diubah yakni  7 jurus dan 7 kuntau dan itu berdasarkan dari hasil kesepakatan,”kata mantan alumnus STKIP Pelita Bangsa Natar 2010 ini.

Karena kesibukan dan hal lainnya, Agus memutuskan mengajarkan seni pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang” di tempat kelahirannya di Desa Pematang, Kalianda dibantu dengan teman-temannya dan masyarakat setempat melanjutkan seni bela diri pencak silat tersebut hingga saat ini. Jurus-jurus yang diajarkan dalam pencak silat tersebut jurus 1-7, pertama Tari Melayu, lalu Kutau (gerakan seni) 1-7, Kutau 2 (menggunakan lading khua), Jurus Tongkat, Selawanan (separing) Bebas,  Selawanan Tongkat dan Selawanan Pedang.

Selawanan (separing) Bebas,  Selawanan Tongkat dan Selawanan Pedang

“Untuk di Desa Palembapang, sempat berhenti tapi tidak lama. Akhirnya dilanjutkan oleh Jailani cucu dari guru ayah saya bernama Harun tersebut. Sebelumnya Jailani ini, belajar bela diri pencak silat ya dari saya juga. Jadi seni bela diri pencak silat adat lampung tersebut, hanya di Desa Pematang dan Palembapang saja yang masih melanjutkannya sampai saat ini,”bebernya.

Agus menceritakan, dirinya pertama kali pentas menunjukkan seni bela diri Pincak Silat “Sumber 7 Helang Bukekhang” ini, yakni di Desa Kahuripan pada saat Radin Inten II dinobatkan secara resmi sebagai pahlawan Nasional. Kemudian saat ia masih duduk dibangku sekolah kelas 3 SMP, pernah diminta untuk pentas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dalam acara Kesenian Adat dan Budaya Indonesia.

“Saya dibawa ke Jakarta bersama pak Budiman Yaqub, dan dibawah naungan dari Desa Kahuripan, Penengahan,”tuturnya.

Kemudian pada tahun 2000, ada persatuan mahasiswa Jogjakarta yang mengatasnamakan Lampung sedang meneliti dan mencari seni bela diri pencak silat dan topeng (tuping) yang benar-benar asli dari Lampung untuk pentas acara kesenian di Jakarta. Para mahasiswa tersebut, meminta agar 12 topeng asli dari lampung atau kelebihan dari orang lampung dahulu harus ditunjukkan.

“Para mahasiswa ini awalnya datang ke rumah Radin Imba, meminta 12 topeng itu ditunjukkan. Lalu kakek Radin Imba mengatakan ke mereka ada 12 topengnya, tapi yang melaksanakannya tidak ada disini (Kahuripan) dan adanya di tempatnya Pangeran di Desa Pematang. Pangeran yang dimaksud itu, tidak lain adalah kakek saya,”ucapnya.

Ketika para mahasiswa datang di rumah kakeknya, lanjut Agus, lalu ia dipanggil dan saat itu topeng tersebut tidak ada, tapi ia menyatakan bisa mengadakan topengnya asalkan benar apa yang sudah diamanatkan. Artinya, dari 12 punggawa topeng yang dimaksud, salah satunya ada Desa Pematang. Tapi kenapa, Pematang yang tadinya disebut sebagai Bandar Pematang dan juga Kecapi ini justru tidak pernah ada ataupun dikaitkan.

“Jadi saat pentas di Jakarta, para mahasiswa dan lainnya yang mengerti tentang seni bela diri pencak silat dan topeng yang melihat pentas seni dan budaya itu mengatakan, kalau pencak silat yang saya tampilkan inilah yang aslinya dari Kalianda, Lampung Selatan,”ungkapnya.

Setelah beberapa tahun menekuni kesenian budaya bela diri pencak silat tersebut, kata Agus, bahwa dirinya mendapatkan petunjuk atau hidayah berupa “Sumber Alam” yang ternyata ada keterkaitan dengan sejarah dari pendahulu atau buyut kami yakni Khaja Maghdum. Tapi belum diketahui secara rinci, siapa sebenarnya Khaja Maghdum yang dimaksudkan dan pada masa abad ke berapa.

“Sesuai dengan hidayah yang saya dapat, nama dari seni bela diri pencak silat ini saya ubah menjadi “Jurus  7 Helang Bukekhang SA” dan SA yang dimaksud itu adalah Sumber Alam. Makna  dari Sumber Alam ini sendiri, ada empat unsur yakni unsur tanah, air, api dan udara,”jelasnya.

DESA KUTADALOM/KOTADALAM

Desa Kotadalam Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan

Terkait dengan hal itu, Agus sedikit menceritakan kilas sejarah mengenai Desa Pematang, Kalianda. Menurutnya, di Desa Pematang ini yang dulunya disebut Bandar Pematang, ada seorang Pangeran bernama Gajah Nunggal dan ada tiga anak keturunan dari Gajah Nunggal tersebut.

Kemudian, Gajah Nunggal mengasingkan diri ke suatu tempat dan wilayah itu diberi nama kampung Kuta Dalom, di tempat itu dia (Gajah Nunggal) memiliki istri dan juga keturunan. Nama Kuta Dalom ini, yang sekarang menjadi sebuah desa dikenal dengan sebutan Desa Kota Dalam, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.

“Nama dari Kuta Dalom ini memiliki arti, Kuta artinya adalah Pagar dan Dalom adalah Batin. Jadi Kuto Dalom ini, sebagai Pagar Batin dari Gajah Nunggal tersebut. Jadi di Desa Pematang dan Kota Dalam ini, masih satu trah keturunan dari Gajah Nunggal,”ujarnya.

Menurutnya, masih banyak sejarah lain di Desa Pematang, Kalianda ini dan wilayah lain di Lampung Selatan yang belum terungkap, sampai saat ini ia dan keturunan lainnya dari Khaja Maghdum dan Gajah Nunggal masih terus menggali dan menelusuri untuk mengetahui akan sejarah tersebut.

Dikatakannya, seni bela diri pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA” tersebut, ada keterkaitan dengan sejarah tersebut, sehingga jarang diketahui atau dipelajari oleh masyarakat adat Lampung Selatan. Oleh karena itu, kami mengajarkan seni bela diri pencak silat warisan leluhur ini terhadap generasi muda bahwa seni bela diri tradisional adat lampung ini ada. Tidak hanya itu saja, supaya generasi muda ini mengetahui sejarah yang sebenarnya.

“Bangsa Indonesia ini kaya akan seni dan budayanya khususnya Lampung, kalau ini tidak dilestarikan dikhawatirkan lambat laun akan hilang. Intinya seni bela diri pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA” ini diajarkan dan dilestarikan, agar masyarakat khususnya di Pematang dan di wilayah Lampung Selatan mengetahui bahwa inilah salah satu dari seni kebudayaan di Lampung Selatan,”terangnya.

Pencak silat “Sumber 7 Helang Bukekhang SA”

Harapannya, khususnya untuk masyarakat Pematang dan umumnya masyarakat Lampung Selatan, agar memahami dan mengkaji apa arti dari kebudayaan itu sendiri dan harus dikembangkan. Supaya generasi-generasi penerus ini, tahu betul bahwa sejarah itu fakta nyata dan jangan sampai punah.

Agus menambahkan, bahwa Seni bela diri pencak silat “Jurus 7 Helang Bukekhang SA” diajarkan, bukan hanya mengajarkan bela diri untuk melindungi diri ataupun menyerang balik. Tapi diajarkan mengenai nilai-nilai realigi, seni, olahraga dan tata krama dalam bersosialisasi dengan individu lain di masyarakat. Bahkan dalam aspek besar nilai-nilai bela negara, dengan mempelajari seni pencak silat akan memperoleh berbagai ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Ada beberapa hal yang tidak ditemukan di bela diri lainnya, tapi dapat ditemukan di seni bela diri pencak silat yang didalamnya mengajarkan mengenai akidah dan akhlak sebuah nilai-nilai ketuhanan yang menyakini tentang keberadaan tuhan sebagai sang pencipta alam. Hal tersebut, agar terhindar dari perbuatan tidak terpuji seperti korupsi, mencuri ataupun perbuatan buruk lainnya,”pungkasnya.

(Z4s)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.