Selama 51 Tahun dan Berbekal Rp 350 Rupiah, Mbah Tug Setia Jadi Perajin Tempe

by -338 Views
Tugiyanto atau akrab disapa Mbah Tug (70), usai mengaru kedelai untuk dijadikan penganan tempe

LAMPUNG SELATAN-Penganan tempe yang terbuat dari kacang kedelai tentu sudah sangat akrab di lidah masyarakat seantero Indonesia, bahkan eksistensi tempe ini tidak bisa diragukan lagi dan disukai segala kalangan mulai dari anak-anak, orang dewasa dan orangtua. Tidak hanya itu saja, penganan tempe ini tidak hanya tersedia di warung-warung pinggir jalan (kaki lima) saja melainkan sudah ada di hotel berbintang.

Pembuatan tempe itu sendiri, bisa dikatakan sebagai pekerjaan seni karena masih banyak ditemui cara pengolahannya dilakukan secara manual. Selain itu juga, proses pembuatannya unik dan memerlukan ketelitian serta ketekunan. Hal itulah yang membuat produsen atau pembuat tempe disebut perajin tempe. Sentra atau wilayah yang menjadi pusat produsen tempe, mengembangkan produksi tempe biasa disebut sentra perajin tempe.

Di Provinsi Sang Bumi Ruwa Jurai (Lampung), ada beberapa tempat atau sentra perajin tempe. Salah satunya adalah di Desa Sidodadi dan Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Dua desa tersebut, banyak warga yang memproduksi tempe. Jejaknya juga sangat panjang, yakni lebih kurang sama dengan jejak para pendatang asal Pulau Jawa yang mengikuti program Transmigrasi menjejakkan kakinya di Provinsi Lampung.

Di Desa Sidodadi, Kecamatan Sidomulyo, ada sekitar 50 orang yang hingga saat ini masih menggeluti usaha membuat tempe. Dari puluhan perajin tempe tersebut, salah satunya adalah Tugiyanto atau akrab disapa Mbah Tug (70), seorang perantau asal Pulau Jawa yakni daerah wates, D.I Yogjakarta. Meskipun cara pembuatan tempe dikerjakan secara manual, tempe buatan Mbag Tug tetap higienis, dikenal enak serta lebih tahan lama.

Saat ditemui lampungterkini.com di rumahnya di Dusun Krajan I Desa Sidodadi, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, Jumat (27/12/2019). Mbah Tug menceritakan dengan runut perjalanannya dari Yogjakarta hingga akhirnya dia menetap tinggal di Lampung Selatan dan menjadi perajin tempe, lalu menikah dan memiliki 7 orang anak dan 8 orang cucu.

Mbah Tug berkisah, sekitar tahun 1967 silam dan hanya berbekal uang sebesar Rp 350 rupiah saja, ia nekat pergimerantau ke Lampung yakni di wilayah Kecamatan Katibung dan berganti nama menjadi Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Kemudian, ia tinggal di Desa Sidodadi dan menjadi tempat tinggalnya hingga saat ini dengan menggeluti usaha sebagai perajin tempe bersama istri dan anak-anaknya.

“Ya saat tahun 1967 itu saya ke Lampung ini, masih zamannya paceklik (kriris). Dari Jawa ke Lampung sendirian aja, dan zaman itu saya cuma bekal uang Rp 350 rupiah. Uang itu, saya gunakan untuk beli tanah ukuran 20×50 meter yang saya tempati sampai sekarang ini dan sisanya Rp 15 rupiah buat modal usaha,”kata dia.

Nggeh mung yotro Rp 350 niku mawonlah, sangu kulo sakeng Jawi meranto teng Lampung niki. (Ya Cuma uang Rp 350 rupiah itu sajalah yang saya bawa dari Jawa merantau ke Lampung ini),”ucapnya kepada lampungterkini.com dengan dialek jawa sembari mengolah kedelai yang sudah diberi ragi untuk dijadikan penganan tempe.

Kartimah atau Mbah Kar (60) istri Mbah Tug, mengemas dan mengelem kedelai kedalam plastik dengan cara manual.

Pada zaman itu, kataMbah Tug, ia kenal dengan salah seorang bernama Pak Sumadi yang kala itu sudah menjadi perajin tempe lebih dulu. Sejak saat itulah, ia mulai belajar membuat tempe dan menggeluti usaha sebagai perajin tempe meski hanya bermodalkan uang Rp 15 rupiah saja.

Menurutnya, saat itu harga kedelai masih sebesar Rp 7,5 rupiah/Kilogramnya. Tapi saat itu ia masih mampu memproduksi 5 Kg/hari lantaran masih tahap belajar usaha, dan keuntungan yang didapat sebesar Rp 10 rupiah.

“Bisa buat tempe ya saat saya merantau di Lampung inilah, setelah saya belajar sama Pak Sumadi sekarang sudah Almarhum. Kurang lebih selamaempat bulan saya belajar buat tempe, tapi saat itu saya usaha tempe masih sendiri dan belum menikah,”ujarnya.

Setelah empat tahun menetap dan menggeluti usaha sebagai perajin tempe, tahun 1970 barulah Mbah Tug menikah dengan Kartimah (60), seorang perantau asal dari daerah Mbatu, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang saat itu tinggal di Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Dari pernikahannya itu, Mbah Tug dikarunia lima orang putra dan dua orang putri.

“Selama 8 tahun saya dagang tempenya itu keliling jalan kaki, tempenya saya taruh dibakul lalu saya pikul. Barulah setelah itu, saya bisa kebeli sepeda onthel. Alhamdulilah, tahun 1983 saya baru bisa beli sepeda motor Yamaha L2 Super Rp 750 ribu. Sejak saat itulah, saya dagang tempe tidak mikul dan jalan kaki lagi sampai sekarang. Dagangnya selain di Pasar Sidomulyo, yakni di Pasar Tanjungan, Kecamatan Katibung dan Pasar Candipuro,”ungkapnya.

Selama 51 tahun menggeluti usaha sebagai perajin tempe, kata Kakek delapan orang cucu ini, yakni hanya satu yang menjadi penghalangnya saat harga kedelai tidak stabil dan tidak menentu naiknya. Dikatakannya, pada tahun 2013 silam, ia sempat mengalami fasi kesulitan karena harga kedelai mencapai Rp 10.000/Kg dan kenaikan harga itu berlangsung selama dua bulan.

“Harga kedelai saat itu Rp 10 ribu/Kg, saya sempat tidak produksi tempe selama dua pekan. Setelah harganya mulai turun Rp 8.000/Kg, barulah saya produksi tempe lagi dan sekarang ini harga kedelai Rp 7.000/KG. Kalau harga kedelai naik, terpaksa harga tempe saya naikkan. Tapi saya tidak merubah ukuran tempe yang sejak awal sampai saat ini saya buat,”bebernya.

Meski diusia yang tidak lagi muda, usaha tempe yang ditekuni Mbah Tug puluhan tahun ini bersama anak keduanya, Puryadi (43) masih terus digelutinya. Setiap bulannya, tak kurang dari 90 Kg kedelai yang diolah Mbah Tug menjadi tempe. Puluhan kilogram kedelai itu, jika sudah diolah setidaknya jadi 1.345 bungkus tempe dalam bentuk kemasan plastik dan daun pisang.

“Meski untung yang saya dapat tidaklah besar dan banyak rintangan yang saya lalui selama 51 tahun ini, Alhamdulilah dari usaha tempe yang sudah saya tekuni ini saya bisa menyekolahkan ke tujuh anak saya itu hingga ke tingkat SMA dan ada juga yang perguruan tinggi. Bahkan sampai kelima anak saya menikah hingga saya memeliki delapan orang cucu,”tuturnya.

Diakuinya, usaha tempe miliknya dan para perajin tempe lainnya yang ada di Kecamatan Sidomulyo, Candipuro, way Panji dan beberapa Kecamatan lainnya di Lampung Selatan ini mulai terbantu dan berkembang setelah adanya Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) yang berdiri dan berada di Kecamatan Sidomulyo pada masa itu. saat ada KOPTI itu, kedelai dijual dengan harga HET sebesar Rp 2.700/Kg dan di toko harganya Rp 3.700/Kg. Bahkan setiap membeli kedelai di KOPTI, para perajin tempe dapat tabungan sebesar Rp 1.000/Kg.

“Berdirinya KOPTI itu lupa saya tahun berapanya, tapi saat KOPTI ini masih berdiri banyak sekali para perajin tempe terbantunya. Selain harga kedelai terjangkau, bahkan setiap pembelian kedelai dapat tabungan. Tapi tabungan itu bisa diambil maksimal empat bulan sekali, dan tabungan itu bisa saja diambil sewaktu-waktu tapi hanya khusus untuk biaya keperluan anak sekolah. Pada saat itu, saya biasa ambil kedelai di KOPTI sekitar 2 kuintal,”terangnya.

Begitu KOPTI ini tutup sekitar tahun 1992 lalu, lanjut Mbah Tug, ia dan ribuan perajin tempe lainnya di Kabupaten Lampung Selatan merasa kesulitan lantaran harga kedelai tidak stabil dan selalu mengalami kenaikan. Sejak saat itulah banyak perajin tempe di Kecamatan Sidomulyo dan lainnya gulung tikar (bangkrut), karena sudah tidak bisa produksi tempe lagi mereka beralih profesi.

Setelah KOPTI tutup, ia membeli kedelai hingga sekarang ini ke salah seorang penyalur kedelai bernama Sogiman di Dusun Jogja Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo. Di Kecamatan Sidomulyo sekarang ini, menurut Mbah Tug, hanya ada sekitar 50 orang perajin tempe dan beberapa orang perajin tahu. Kalau sebelumnya, ada ratusan perajin tempe dan tahu.

“Kalau ada koperasi seperti KOPTI dulu lagi, sepertinya banyak lagi para perajin tempe dan tahu kembali menggeluti usahanya karena merasa terbantu. Harapannya, perajin tempe dan tahu dapat terbantu dan harga kedelai tetap stabil. Pemerintah bisa menstabilkan harga kedelai, agar generai berikutnya dapat mewarisi serta menekuni usaha sebagai perajin tempe maupun tahu,”pungkasnya.

Puryadi (43), anak kedua Mbah Tug mengemas kedelai untuk dijadikan penganan tempe.

Sementara Puryadi (43), anak kedua dari Mbah Tug ini mengaku, sudah 16 tahun membantu usaha bapaknya sebagi perajin tempe saat ia masih bujangan, hingga ia berkeluarga dan memiliki tiga orang anak. Dari usahanya itu, ia bia mencukupi keluarganya dan menyekolahkan ketiga anaknya.

“Kalau saya dagangnya keliling di daerah Kecamatan Candipuro, seperti di desa Trucuk, Karyatani dan Way Gelam. Mulai start berangkat dagang itu pagi jam 06.00 WIB, pulang ke rumah jam 09.00 WIB. Siang harinya, baru mulai lagi mengolah kedelai untuk dijadikan penganan tempe,”ungkapnya. (Z4s)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.